BERITA TERKINI

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

header ads

Terkait Uang 4,6 M, Bos Tambang Asal Dompu Dilapor ke Polisi

Baca Juga

Pengusaha Tambang Denis Saputra (kiri) bersama Kuasa Hukumnya, Dr H Nurianto R,S, SH MH.


KOTA BIMA - Seorang Pengusaha Tambang asal Kabupaten Dompu, Denis Saputra harus berurusan dengan Aparat Penegak Hukum (APH). Pemilik Perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu tembaga di wilayah Dompu, Bima dan Sumbawa itu dilaporkan ke Mapolres Bima Kota oleh Baldowinus pada 11 Januari 2024.


Pelapor yang diketahui sebagai pekerja di Peusahaan Tambang di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima tersebut melapor Bos Tambang Denis Saputra terkait dugaan penipuan dan penggelapan uang sebesar Rp 4,6 miliar. 


Rabu (28/2/2024), kedua pihak antara pelapor dan terlapor dipanggil untuk mediasi di Polres Bima Kota. Denis Saputra menghadiri panggilan polisi didampingi langsung oleh pengacaranya, Dr. H Nurianto R,S, SH MH.


Namun Dr H Nurianto menilai  laporan terhadap kliennya cacat secara hukum atau legal standing. Sebab, terdapat beberapa hal dianggap rancu dalam laporan tersebut. Seperti, status pelapor yang tidak jelas kapasitasnya. Ditambah lagi, pelapor tidak pernah terlibat pada saat menandatangani perjanjian (MoU) antara perusahaan dengan kliennya.


“Ini aneh. Pelapor itu tidak jelas kapasitasnya sebagai apa dalam laporan itu,” kata Dr H Nurianto dikutip pada media online kicknews.today. 


Dalam laporan tersebut lanjut  Dr H Nurianto, status pelapor tidak mengikat dengan perusahaan. Bahkan pelapor tidak melampirkan atau menunjukan surat kuasa dari perusahaan. Termasuk bukti fisik MoU sebagai dasar laporan dugaan penggelapan dan penipuan terhadap kliennya.


“Jadi, pelapor ini melapor secara personal. Sementara pak Denis Saputra tidak pernah merugikan pelapor secara pribadi seperti yang dituduhkan,” katanya


Dr H Nurianto menilai laporan tersebut sarat memeras dari oknum tertentu. Pihak pelapor diduga ingin ‘menjatuhkan’ kliennya dengan tuduhan yang tidak mendasar.


Dia mengungkapkan, sebelum laporan itu muncul, kliennya memiliki perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu tembaga di wilayah Dompu, Bima dan Sumbawa dengan status Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Di wilayah Bima, kliennya mendirikan perusahaan di Kecamatan Wawo pada Agustus 2023. Perusahaan itu pun mulai beraktivitas setelah mendapat izin dari sejumlah dinas terkait. Sebagai pengelola perusahaan itu, DS mempercayakan pria inisial N, yang juga Calon Legislatif (Caleg) DPRD NTB Dapil 6.


Melihat adanya potensi, dilirik oleh investor asal Jakarta atau PT PAM Mineral untuk berinvestasi di perusahaan Denis Saputra. Kerjasama itu pun disepakati lewat tanda tangan MoU. Dalam MoU itu disepakati beberapa poin seperti nominal biaya pengirim batu dari lokasi dan lain-lain.


“Saat itu Dirut PT PAM Mineral pak Andre menyalurkan dana secara bertahap untuk membiayai berbagai kegiatan di bidang pertambangan (batu tembaga),” kata Nurianto.


Dana itu lanjut H Nurianto, diperuntukan untuk mendukung kebutuhan operasional dan pemenuhan sarana prasarana di lokasi perusahaan. Seperti mobil, sewa alat berat, sepeda motor dan lain-lain.


“Setelah beroperasi, baru muncul perjanjian (MoU) kedua dan ketiga,” tandasnya.


Yang jadi masalah sebut Nurianto, MoU kedua dan ketiga itu tidak merujuk pada perjanjian pertama. Bahkan kliennya tidak diberikan bukti fisik dari MoU tersebut. Hanya dikirim dalam bentuk file PDF, itupun isinya sudah mereka ubah.


Indikator sarat memeras itu kata dia, tertuang di dalam praktek pembuatan MoU yang diduga secara sepihak. Naskah perjanjian tidak diserahkan kepada kliennya sebagai pihak kedua. Begitu pun pembuatan MoU kedua dan ketiga tidak dilakukan berdasarkan kesepakatan terlebih dahulu, kecuali kliennya diduga dipaksa untuk menandatanganinya.


Sementara kesepakatan harga pada perjanjian pertama itu harga batu per kilogram sebesar Rp2.750. Sementara di MoU kedua harga batu dari Sumbawa ke Pelabuhan Bima sebesar Rp500 dan dari Wawo ke pelabuhan Bima sebesar Rp300.


“Aturannya, masing-masing kedua pihak yang menjalin MoU itu wajib memegang bukti fisik, tapi nyatanya tidak diserahkan. Dari masalah ini muncul dugaan kami bahwa laporan dugaan penipuan dan penggelapan tersebut sudah didesain sejak awal,” duganya.


Nurianto menilai laporan itu tidak etis untuk diproses lanjut. Dia meminta pihak kepolisian untuk segera menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3.


“Dari kasus ini kliennya saya yang justeru jadi korban. Karena dari dasar laporannya saja itu sudah cacat hukum,” ungkapnya.


Sementara Denis Saputra merasa keberatan dengan tuduhan itu. Ia juga tidak menduga sampai dilaporkan atas dugaan penipuan. Padahal ia dan pelapor sebelumnya, adalah orang dekat dan sering bersama-sama.


Meski demikian, dirinya tetap kooperatif. Bahkan ia siap ganti rugi, jika itu yang menjadi keinginan pelapor.


“Gak apa-apa, saya siap ganti rugi. Tapi kita harus hitung-hitungan dulu. Sudah berapa banyak biaya yang saya keluarkan untuk dia (pelapor) dan perusahaan. Seperti mobil, motor saya yang mereka pakai, sewa hotel dan masih banyak biaya-biaya yang lain. Ayo, kalau mau,” tantang DS ditemui usai menghadiri panggilan penyidik Polres Bima Kota, Rabu (28/2/2024). 



(Anhar Amanan)

Posting Komentar

0 Komentar